· Sedot Anggaran, Tak Ada Pemasukan
BATANG – Ternyata pendapatan para PSK Se Kabupaten Batang nyaris setara dengan PAD Kabupaten Batang. Dalam setahun, pendapatan para PSK dari berbagai Kawasan Industri Maksiat alias KIMAK mencapai Rp 50 an Miliar. Angka itu lebih tinggi ketimbang PAD Kabupaten Batang tahun 2010 yang hanya sebesar Rp 44,5 M. Bahkan untuk tahun 2011, PAD Batang hanya ditarget Rp 48,9 M. Angka itu pun masih tetap kalah ketimbang pendapatan ratusan PSK Se Kabupaten Batang.
“Kami sudah lakukan survey. Kita sebut, Kawasan Industri Maksiat alias KIMAK. Asumsinya, ada sekitar 600 an PSK yang praktik di puluhan kawasan industri maksiat Se Kabupaten Batang. Tiap hari, rata-rata pendapatan PSK Rp 300 ribu. Sebab, minimal tiap PSK dalam sehari melayani 2 pelanggan. Maksimal sampai 7 pelanggan sehari. Ditambah keuntungan dari sewa kamar, warung warung, penjualan minuman keras, rokok, karaoke dan usaha lainya yang dikelola para mucikari, totalnya bisa lebih dari Rp 50 M setahun,” beber Kabag Hukum Bambang Supriyanto ketika rapat kerja dengan Komisi A DPRD Batang di ruang Komisi A, kemarin.
Sayangnya, dari asumsi pemasukan sebesar sekitar Rp 50 Miliar setahun itu, tak ada sepeserpun kontribusi untuk daerah baik lewat retribusi maupun pajak. Justru yang mendapat pemasukan dari bisnis haram itu adalah oknum-oknum keamanan. Sedangkan bagi Kabupaten Batang, justru menimbulkan berbagai persoalan sosial dan kesehatan. Sebab, jumlah penderita HIV/AIDS di Batang paling tinggi di jalur Pantura serta konflik dengan warga sekitar, persoalan rumah tangga dan de moralisasi.
Ironisnya, meski keberadaan PSK maupun lokalisasi secara resmi dianggap tidak ada, kenyataanya keberadaan puluhan lokalisasi itu juga menyedot keuangan daerah dan ditangani instansi resmi. Lihat saja, setiap tahun Pemkab Batang harus mengeluarkan dana miliaran rupiah untuk penanggulangan HIV/AIDS di kompleks lokalisasi lewat Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial maupun Komisi Penanggulangan Aids. Juga pembinaan PSK lewat Bagian Sosial, razia PSK lewat Satpol PP dan pengeluaran lainya. Belum lagi razia razia maupun pembinaan dari Polres Batang yang jelas membutuhkan dana.
“Artinya, Pemkab harus terus menerus nombok untuk para PSK, tapi ndak mendapat apapun dari PSK. Ini dari sisi ekonomi saja. Lepas dari urusan agama maupun norma sosial ,” imbuh Bambang.
Sementara Ketua Komisi A Yuswanto BA meminta agar jumlah kompleks lokalisasi dikurangi. Yang memungkinkan adalah kompleks lokalisasi Njentolsari di pinggir Alas Roban agar ditutup saja.
“Kawasan Njetolsari sebaiknya hanya untuk berdagang warung kaki lima. Tapi jangan untuk praktik prostitusi lagi,” kata Yuswanto. Sebab, kawasan Njetolsari semakin marak, bahkan ada beberapa losmen atau hotel yang membuka praktik prostitusi juga. Komisi A juga meminta Pemkab merevisi Perda tentang prostitusi dan Miras.
Sementara Kasatpol PP Wahyu Budi Santoso juga mengakui, banyaknya lokalisasi di Kabupaten Batang. Bahkan, sejumlah tempat seperti pangkalan truk seperti penundan dan Banyuputih juga warung pinggir hutan jadi pun berubah menjadi praktek lokalisasi.
“Secara resmi, memang tak ada lokalisasi. Tapi kenyataanya semua orang sudah tahu. Namun, kita akan berusaha mengurangi jumlah PSK yang ada dengan rehabilitasi,” imbuh Kasatpol PP. Pengurangan lokalisasi dan PSK diperlukan karena dikhawatirkan KIMAK akan terus berkembang pesat di Seantero Batang. (dik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar